
Normalisasi. Selayaknya tidak ada lagi ‘muslihat’. Pembongkaran bangunan liar tentu bukan jalan pintas cegah banjir atau genangan air di mana-mana. Penyakit menaun ini perlu disembuhkan. Bukan hanya sekedar terapi sesaat. Ini jelas bukan tantangan mudah pemimpin Sidoarjo, kemarin, hari ini dan esok.
Normalisasi dan pembersihan bangunan liar (bangli) di bantaran kali bukan jurus pamungkas. Grand desain Sidoarjo Bebas Banjir perlu kesepakatan pikir para pelaksana kebijakan mulai tingkat kabupaten, kecamatan, desa /kelurahan sampai lembaga kemasyrakatan desa; plus lintas sektoral.
Pembenahan totalitas dari hulu ke hilir perlu dilakukan; kategori darurat. Aparatur negara perlu hadir: tidak hanya untuk melindungi, mengarahkan, mengelola dan mengedukasi kejujuran. Diantaranya tentang tata kelola lingkungan, pengendalian timbulan sampah, pemeliharaan drainase, kebersihan dan keberlangsungan aktivitas usaha. Pemerintah daerah perlu lebih bijaksana mencermati semua ini.
Satu Catatan Perlu Diingat
Tak ada ruang publik bebas rupiah. Ada potensi komersial atau dikomersialkan di semua jalan propinsi-kabupaten; plus kecamatan-desa dan kelurahan. Begitu pula akses masuk wilayah perumahan plus, perkampungan, kawasan pergudangan – jasa perdagangan plus pabrikan. Pelaku usaha kreatif : mulai warung kopi kios semi permanen sampai angkringan; tidak sepenuhnya gratis menempati lokasinya. Selalu ada yang disebut iuran atau ongkos sewa. Nominalnya beragam.
Tidak terkecuali bangunan liar di bantaran kali; bagi penyedia kebutuhan makan-minum pekerja pabrik atau siapa pun ingin cangkrukan sambil minum kopi. Buka nonstop 24 jam dilakukan untuk kumpulkan rupiah yang telah ‘diinvestasikan’. Berbekal modal pribadi berusaha wujudkan sarana-prasana usaha; wujudkan kesejahteraan secara mandiri.
Apresiasi Positif
Pemerintah perlu memberikan apresiasi positif. Dikala masih kerepotan sediakan lapangan kerja, kreativitas dan keberanian ‘berinvestasi’ perlu pembinaan secara berkelanjutan. Memang ada dampak krusial seperti: Timbulan sampah di alur sungai dan kisaran sempadan kali, termasuk pendangkalan.
Ini tantangan. Keberagaman pola pikir wajib diselaraskan. Kajian komperhensif untuk tetapkan rencana aksi terpadu. Tujuannya ! Tidak memicu potensi polemik baru, cegah kegaduhan dan kegelisahan di ruang publik; plus potensi kerugian. Hiilangkan dominasi orang dalam yang bisa buyarkan aturan dengan ‘muslihat’ atas nama kebijakan. Plus memperkuat fungsi kontrol dan pengawasan menyeluruh; demi terjaganya keseimbangan tata kelola lingkungan, sosial, ekonomi dan psiko-sosial.
Secara normatif penguatan komunikasi lintas sektoral melalui musrenbang desa/kelurahan dan kecamatan bisa jadi pilihan prioritas. Termasuk mengurai ketidakberdayaan aparatur bidang pembangunan dan pengawasan desa / kelurahan, kecamatan dan kabupaten mambangun komunikasi. Utamanya ! Tata kelola konektivitas drainase antar kawasan hunian; agar kembali berfungsi optimal dan menyulut genangan air dan banjir. Rumuskan kebijakan pengalihan lokasi usaha sesuai ketentuan. (*)
editor : C.Rahadi