
Duh reformasi ! Iklim perubahan di berbagai sektor, sejatinya sudah bergerak; meski belum sepenuhnya seperti harapan aktivis reformasi 1998. Masih ada rasa kecewa. Ada pula yang sebaliknya. Tiada sedikit pula yang memilih diam dan menempuh jalan lain; walau spirit reformasi masih tersimpan dalam sanubari. Tiada henti menguatkan jalin perjuangan bareng rakyat untuk terjaganya hak: sosial, ekonomi dan politik yang adakalanya terkebiri pelaku birokrasi. Plus oknum yang ingin bermuslihat dan mencoba segala cara merengkuh keuntungan personal atau kelompok.
Tonggak reformasi telah ditegakkan 12 mei 1988 dan 21 Mei 1998 dikukuhkan sebagai Hari Reformasi Nasional. Momentum kebangkitan reformasi 26 tahun lalu itu, tentu bukan sekedar bermakna ‘keberhasilan’ menggeser Soeharto dari kursi presiden dan istana negara. Namun lahirnya kesadaran dan kepedulian tentang pentingnya perubahan tata kelola pemerintahan berpondasi komitmen spirit reformasi yang demokratis dari pusat Jakarta sampai wilayah seantero negeri.
Waktu pun terus bergulir. Beragam tantangan dan kendala bertebaran dan keuntungan pragmatis ditawarkan. Spirit perjuangan menumbuhkembangkan reformasi sosial, politik, ekonomi dan upaya pemberdayaan melek politik digoyah. Pekik spirit reformasi pun tak mampu menguatkan kesadaran; tentang pentingnya perubahan perilaku atau sikap di ranah birokrasi dan publik. Gelombang korupsi, kolusi dan nepotisme pun mengalir dan terus begerak dalam senyap.
Berbagai media pun merilis hampir saban hari. Namun pada sisi lain, kabar – kabar miring itu ditimpali beraneka program dan aktivitas kinerja penyelenggara pemerintahan. Kepala daerah dan wakil pun terasa masif tampil di arena publik; dilengkapi jajaran lintas sektoral. Upaya mengembangkan citra pro rakyat terpampang lebih besar ketimbang kabar kecerdasan inovasi konkret; demi selesaikan kebutuhan atau kepentingan fundamental masyarakat.
Agenda Reformasi pun perlahan berkembang di lintasan wacana dan pelengkap kata-kata sambutan seremonial. Realitas ini menjadi ‘tren’ pemerintahan baru – pemimpin baru dalam 100 hari masa baktinya. Reformasi sosial yang merujuk proses perubahan terencana struktural, kebijakan, atau norma sosial tampak mengambang di awang-awang. Harapan terwujudnya pembangunan berbasis kebutuhan atau kepentingan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan sejahtera terasa rumit terwujud segera. Spirit reformasi untuk mengatasi ketimpangan, ketidakadilan, atau masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat masih terhambat dalam koridor konsep.
Realitas fenomena tersebut juga terjadi di Sidoarjo. Beragam peristiwa publik yang terjadi ditumpangi sebagai sarana pencitraan. Bahkan dikemas secara serimonial. Andai boleh diduga, semua itu bagian upaya menggugurkan kewajiban selaku pemegang tongkat komando pemerintahan. Seratus hari pemerintahan baru – pemimpin baru, sejak 20 Pebruari – 20 Mei 2025 pun mirip aktivitas ‘kampanye pilkada’. Pola kinerja pemimpun baru-pemerintahan semakin terasa menjauh dari spirit reformasi; karena belum ada inovasi spektakuler.
Solusi subtansial seperti ada dan tiada. Apalagi masih perlu kesepakatan alokasi anggaran yang diputuskan bersama antara wakil rakyat di parlemen dan pemerintah daerah ( eksekutif ). Potensi kerumitan semakin terasa; dikala pola kemitraan antar eksekutif dan Legislatif tidak sedang baik baik saja. Entah apa kata-kata yang paling pas; bila di hari peringatan Hari Reformasi Nasional 21 Mei 2025 ini belum ada karya inovasi spektakuler di Sidoarjo dan beberapa daerah lainnya; giat pemerintahan masih terasa menggema rasa ‘kampanye pilkada’. ( *)
editor:
C. Rahadi