
Realitas politik kota bandeng dan udang (Band-Ud) lagi tak baik-baik saja. Ada kegaduhan psiko-sosial-politis saat 100 hari pemerintahan baru-pemimpin baru Sidoarjo bergulir. Sinyalemen di lepas bupati : lembaga eksekutif sibuk tingkatkan pendapatan, DPR sibuk ‘menghamburkan’.
Kalimat pendek lewat video berdurasi 1 menit itu pun menuai beragam respon. Ada yang menilai bagian manuver politik untuk stimulan tumbuhnya simpati publik. Jajaran eksekutif seolah diposisikan sebagai pekerja; sedangkan anggota DPRD penikmat hasilnya.
Potensi disharmoni bergulir liar. Sikap politis pekerja partai di parlemen pun terbelah. Enam fraksi : PKB, Partai Gerindra, PDI-P, PAN, PKS-PPP dan NasDem-Demokrat mendesak Bupati Subandi minta maaf terbuka. Plus buktikan komitmen tentang pemerintahan yang bersih dan bebas KKN yang masif dikibarkan. Namun perlu diketahui ada pula fraksi yang berbeda sikap.
Duh Politik!
Ketidakbulatan sikap politis anggota DPRD bisa jadi wujud demokrasi. Namun tak salah bila ada kekuatiran. Ragam kebijakan yang jadi penggerak roda pembangunan tidak sat-set diputuskan. Semoga ada kemufakatan dan kelegowoan baru demi wujudkan lagi kebersamaan.
Pijakan realitas ! Bupati dipilih rakyat melalui proses politik dan bekal masuk arena pilkada adalah rekomendasi partai politik plus pekerja partai di dalam atau luar parlemen. Andil mereka menguatkan perolehan dukungan di daerah pemilihan masing masing tak selayaknya diabaikan.
Merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Ada benang merah layak dicermati. DPRD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah; berkedudukan sama dengan kepala daerah. Begitu pula, sebagai lembaga perwakilan politik, senantiasa ‘diposisikan’ sebagai jembatan komunikasi dan penampung aspirasi publik. Termasuk mengawasi adanya potensi politik pemerintahan tereduksi.
Ciri-cirinya: ada indikasi dominasi suatu kekuatan politik atau menguatnya berbagai tekanan pihak tertentu. Dampaknya: proses pengambilan kebijakan tak lagi inklusif, transparan, dan akuntabel; abaikan aspirasi publik, penyalahgunaan kekuasaan, terdegradasinya kepercayaan publik, sulut potensi konflik, ketidakpuasan, dan menghambat roda pembangunan di segala bidang. (*)
Editor : ratucahadi